Senin, 08 September 2008

Pride Of 1976


Disini kubernyanyi hanya untukmu
Disini kuberlari mengawalmu
Walaupun hujan batu kutetap bersatu
Walupun caci maki kan menghampiri

Tekadmu slalu ada dalam nafasku
Semangatmu slalu ada dalam hidupku
Kepakkanlah sayapmu hancurkan musuhmu
Dan jayalah PSS Super Eljaku

Kemenangan slalu kunantikan
Bertarunglah demi kejayaan
Kami kan slalu mendukungmu
Kemenangan slalu kunantikan
Bertarunglah demi kejayaan
Jiwa ragaku bersamamu


ROAD TO DERBY!!!!


di atas tribun kami bernyanyi..di atas tribun kami bersorak demi satu nama besar PSS..demi kejayaan Jogjakarta kami hanya ingin kemenangan Persiba"su"....dibunuh saja!!! lalala..lal.lala.la..lalalala





PANORAMA STADION MAGUWOHARJO.....INI KANDANG KITA BUNG!!!

Suporter (sedang) Belajar, Belajar (pada) Suporter

Ada banyak persoalan yang dihadapi bangsa ini, terutama masih banyaknya fenomena kekerasan baik oleh massa atau individu. Namun dalam menyikapi berbagai persoalan itu kita bisa banyak belajar dari kelompok-kelompok suporter sepakbola di Indonesia. Ada memang beberapa kejadian kerusuhan yang melibatkan kelompok suporter sebagai bentuk kekerasan massa. Bahwa keributan dan kerusuhan itu membawa konsekuensi kerugian bagi masyarakat banyak masih sering terjadi namun dari waktu ke waktu frekuensi dan skala kerusuhan yang melibatkan suporter makin berkurang dan mengecil. Sepanjang waktu kelompok suporter berinteraksi dengan kelompok suporter yang lain, terdapat dinamika, dan mereka memetik pengalaman serta belajar menjadi lebih dewasa dalam segala hal.

Disaat terdapat fenomena institusi pendidikan yang diharapkan nantinya menghasilkan aparat pengayom masyarakat tetapi yang terjadi adalah pendidikan penuh kekerasan dan arogansi senior atas yuniornya yang mengakibatkan jatuh korban jiwa. Disisi yang lain kelompok suporter terus giat berbenah diri, berlaku tertib didalam dan diluar lapangan, terus menerus memupus kekerasan dan mengkampanyekan persahabatan antar kelompok suporter dan sikap menghormati sesama suporter. Ketika para pejabat, birokrat, dan wakil rakyat yang terhormat gagal mengemban amanat namun putus urat malunya hingga tetap bertahan bahkan ”bermain sirkus” dengan aksi tipu-tipu pada rakyat. Dilain pihak suporter masih bisa merasa malu ketika diteriaki ”ndeso” atau kampungan apabila perilaku mereka mengganggu pertandingan seperti melempar benda ke lapangan atau menerabas masuk stadion tanpa tiket. Bagi mereka, masuk dan menonton haruslah dengan membayar. Sehingga tak aneh apabila mereka kemudian bekerja keras dan berpikir kreatif untuk mendapatkan uang demi membeli tiket pertandingan. Melancong menemani timnya bertanding dikandang lawan hanya dengan transportasi dan akomodasi sekedarnya pun sanggup mereka jalani. Bukankah itu jauh lebih baik daripada mereka yang meminta berbagai fasilitas yang serba wah untuk kepentingan pribadi namun dengan memakai uang rakyat?

Disaat suhu pertandingan memanas mereka tetap berusaha berpikir jernih dan bertindak proporsional. Saat perekonomian mereka tak cukup baik menopang kehidupan sehari-hari mereka tetap menyalakan harapan dengan tetap berusaha membeli tiket pada setiap ritual menonton mereka. Kala perhatian otoritas tertinggi pada mereka jauh dari harapan, yang lebih sibuk dengan urusan memberi hukuman dan sanksi yang kerap salah sasaran dan tak benar-benar mendidik untuk lebih baik, para suporter itu tetap giat memperbaiki diri, memperkukuh semangat dan menjadi jauh lebih beradab pada setiap sikap hidupnya.

Semestinya kita tak perlu berkecil hati dan terus memupuk optimisme meski prestasi sepak bola nasional tak kunjung mekar, akibat salah urus dari pengurus yang berwatak oportunis, karena kita masih memiliki banyak sekali orang yang begitu mencintai sepakbola dan kehidupannya dalam wujud sebagai suporter. Kahlil Gibran (1883 - 1931), mewariskan kalimat indah"Segala kerja adalah hampa kecuali ada cinta”. Cinta adalah kekuatan terbesar yang menjadi modal yang berharga untuk membawa kehidupan sepakbola nasional juga kehidupan negeri ini menjadi lebih baik. Semangat dan cinta dari suporter selayaknya dijadikan obligasi moral bagi kita semua yang peduli pada persoalan sepakbola nasional yang macet maupun persoalan kehidupan berbangsa yang masih suram.

Penting untuk selalu mempertahankan sikap peduli, kerelaan dan kebersihan hati untuk memberi koreksi pada setiap bentuk penyimpangan dan kekeliruan disekitar kita. Peduli dan kritis adalah bentuk keimanan paling kuat yang harusnya dimiliki oleh tiap jiwa manusia. Mari terus belajar...

Sepakbola adalah Konflik dan Kompetisi

Permainan sepakbola bersifat timbal balik, dengan sifatnya tersebut sepak bola jelas tidak bisa untuk dimainkan sendirian. Dalam praktiknya, sepakbola merupakan interaksi dua pihak yang saling melawan satu sama lain dalam suatu permainan untuk memperebutkan hadiah tertinggi yaitu kemenangan. Seperti sebuah dialektika, sintesa yang berupa kesempurnaan dan keindahan permainan sepak bola lahir dari pertentangan dua tim yang bertanding yang berbuah hasil yang kontras yaitu kemenangan di satu pihak dan kekalahan di pihak yang lain. Dalam sepakbola senantiasa menampilkan dua wajah yang kontradiktif sebagai suatu keniscayaan yang tak bisa dipungkiri. Suatu fenomena yang di dalamnya termuat elemen menang dan kalah, sportifitas dan culas, kegembiraan dan kekecewaan, sanjung puji dan caci maki, dan sebagainya.

Sepakbola adalah bentuk konflik dan kompetisi sekaligus. Sebagai bentuk konflik karena pada dasarnya sepakbola merupakan olahraga yang didalamnya terdapat upaya saling mengalahkan untuk memperoleh kemenangan. Sedangkan spirit kompetisi diwujudkan dengan adanya aturan-aturan permainan, yang dibuat oleh otoritas yang berwenang, guna menjamin keadilan dalam lapangan. Secara umum konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan pertentangan antara dua pihak atau lebih. Sehingga wujud konflik dan kompetisi direpresentasikan tidak hanya oleh dua puluh dua orang di lapangan yang terbagi dalam dua tim yang berbeda tetapi melibatkan official dan seluruh komponen tim serta pendukung atau suporter masing-masing.

Suporter sebagai bagian yang terlibat langsung dengan tim yang bertanding ikut terseret dalam situasi konflik tersebut. Suporter hadir di arena pertandingan dengan tujuan mendukung untuk menaikkan mental dan moral tim yang didukung sekaligus meneror mental tim lawan. Ketika dua kelompok suporter bertemu di arena pertandingan dengan tujuan yang sama namun berbeda tim yang didukung maka yang terjadi adalah pertentangan, perang yel-yel, saling ejek dan lain-lain. Konflik yang terjadi antar kelompok suporter jelas tidak bisa dipisahkan dari konflik dan kompetisi yang terjadi pada klub yang mereka dukung. Sebab suporter senantiasa mengidentifikasikan dirinya dengan tim yang mereka dukung.

Konflik antar suporter sebagai suatu keniscayaan, terjadi ketika mereka bertemu di arena dan mungkin saja masih berlanjut setelah pertandingan usai. Meski terdapat konflik tidak berarti hal tersebut bernilai negatif karena pada dasarnya konflik berbeda dengan kekerasan. Konflik tidak selalu dapat dilihat dengan kasat mata. Menurut Dr. A. Munir Mulkhan, dkk, dalam bukunya ”Kekerasan dan Konflik: Tantangan Bagi Demokrasi” (Forum LSM DIY, 2001) menjelaskan bahwa konflik bukan sekedar peristiwa atau “fakta” seperti tawuran, perang, revolusi sosial, demontrasi, aksi massa, dan lain-lain tetapi juga dimengerti sebagai sudut pandang, perspektif dalam melihat atau memandang peristiwa-peristiwa sosial.

Lewis Alfred Coser (1913-2003), Presiden ke-66 American Sociological Association sekaligus penulis buku The Functions of Social Conflict, menerangkan bahwa konflik merujuk pada suatu keadaan pertentangan antar dua atau lebih kelompok dengan identitas yang jelas. Pertentangan tersebut dapat berupa pertentangan kepentingan atas sumber daya, pengakuan atau gengsi dan tidak selalu disertai dengan kekerasan. Pada akhirnya semua mesti bisa memaklumi bahwa konflik merupakan suatu hal yang lumrah apalagi dalam dunia suporter sepakbola namun tidak perlu pemakluman alias toleransi untuk kekerasan. Meski faktanya kekerasan kerap kali singgah dalam hingar bingar dunia sepak bola namun secara filosofis, kekerasan tidak sejalan dengan semangat sportifitas sepak bola sebagai suatu bidang olahraga. Kekerasan menjadi musuh utama bagi pecinta dan suporter sejati sepak bola.

PSS Jiwa RagaKu!!!

Desember 2004 (aku wis lali tanggal piro, dino opo, lan jam piro) kala itu, aku iseng-iseng meh muter-muter kota Jogja. Bosan menjadi motovasiku untuk mulai menggeber motor butut Honda Super Cup Merah keluaran tahun 1980an.

Berangkat dari seputaran jalan monjali menuju ke selatan, aku ngikut aja kemana pikiranku akan pergi....tiba-tiba...dari arah belakang...tet..tet.tettet..mbrung-mbrung..suara bising blayeran sepeda motor mengusik kenikmatan perjalananku. "masa bodho" pikirku waktu itu, aku cuek alias ra nggagas! Tapi suara bising itu terus mengusik pikiran dan menyita perhatuianku...sejanak perlahan aku mulai menepi....kutoleh kebelakang...ada apakah gerangan...dan..eng...ing..eng...

Sekelompok (ratusan jumlahnya) dengan kostum berwarna hijau-hijau...dengan euforia yang begitu luar biasa tengah unjuk gigi dijalanan...massa partaikah pikirku. Hati ini mulai terusik, seakan bertanya siapakah mereka? ketika mereka tepat dibelakangku...sepintas aku cermati mereka...samar-samar aku lihat tulisan dibaju yang mereka kenakan...."SLEMANIA"...

Oalah....Slemania to...penonton bola rupanya...fiuh..aku kira siapa, pikirku. Setelah mereka berlalu, aku segera kembali melanjutkan jalan-jalan soreku..setelah melintasi jalan Sudirman, di perempatan Gramedia aku putuskan untuk belok ke kanan menuju arah stadion kridosono...tiba-tiba...puh...macet bukan main. Ada apa to ini? Walah mereka lagi-lagi (slemania). Wah jan...umpatku (meski sebetulnya aku juga tertegun melihat euforia yang tercipta...dahsyat!!!). Setelah lalin kembali lancar, tiba-tiba terpikir olehku untuk mengikuti rombongan Slemania itu. Lalu bergegas aku menyusul rombongan tadi. Setelha megikuti, aku baru tersadar o iya, PSS hari ini main...nonton ah..pikirku spontan.

Sesampainya di stadion Mandala Krida, kuparkir sepeda motor bututku, lalu antri beli tiket di loket. Setelah berdesak-desakan cukup lama, akhirnya tiket kudapat juga...ooo...PSS lawan Persib Bandung rupanya..wah pasti seru pikirku. Tapi kok ada yang kurang ya...aku pikit-pikir lagi apa ya....sambil jalan aku berpikir kok ada yang kurang ya...ehmmmmm..na...atribut. Wah gimana neh, aku ndak pake atribut apa-apa, sedangkan disini banyak ribuan orang lengkap dengan atributnya.

kulihat sisa duit yang kubawa..40rb...wah dapat apa ya kalo dibelikan atribut, tanyaku dalam hati..ah coba dulu sapa tau dapat. Lalu aku bergegas menuju stan-stan yang ada disekitar stadion yang menjual berbagai macam atribut...lihat-lihat, wah beli syal aja harganya jg cukp murah 15ribu. pak syale siji...

nah sekarang dah pakai atribut, masuk ah...buset antri lg!! begitu melewati masuk...glek...buseeeeet!!! hijau semua....

(bersambung ya)

Fight Against Riot on Football

Kerusuhan mungkin sudah menjadi tradisi di sepak bola Indonesia. Format liga baru dengan title Indonesia Super League (ISL) ternyata belum bisa mengubah mental/kalakuan suporter tanah air ini. Kejadian terakhir yaitu rusuhnya suporter dari Persib Bandung yang dikenal dengan nama Bobotoh/Viking/Boomber. Kenapa suporter kita sering melakukan tindakan-tindakan anarkis dan berakhir dengan kerusuhan.

Alasan yang sering muncul yaitu karena ketidakpuasan karena tim yang di dukung mengalami kekalahan, apalagi di kandang sendiri. Dan, jika
yang mengalahkan itu adalah rival abadinya. Alasan lainnya yaitu loyalitas sebagai suporter. Memang, loyalitas memang diperlukan untuk mendukung tim yang diidolakan, Kepemimpinan wasit yang tidak tegas, dan juga dendam antar kelompok suporter juga menjadi salah satu alasan mengapa sering terjadi kerusuhan di sepak bola.

Tetapi, apakah alasan-alasan seperti itu dibenarkan jika terjadi kerusuhan didalam pertandingan sepak bola? Sebenarnya kerusuhan hanya akan merugikan Klub, suporter secara kelompok, maupun suporter secara individu, dan juga berimbas pada orang lain yang mungkin saja
tidak ada hubungannya dengan sepakbola itu sendiri. Pertama, klub pasti di denda jika suporternya berbuat rusuh pada saat pertandingan
baik itu denda dalam bentuk uang sampai puluhan juta rupiah, ataupun larangan usiran partai kandang, yang jelas akan mengurangi pendapatan
dari penjualan tiket pertandingan (jika memang komdis bersikap tegas).

Untuk kelompok suporter juga akan mengalami kerugian, seperti pendukung Arema Malang (Aremania) atau pendukung Persib Bandung
(Bobotoh/Viking/Boombers) mereka dlarang masuk keseluruh stadion di Indonesia (antara1 -2 tahun) jika memakai atribut masing2 suporter, bisa dibayangkan jika kita sebagai suporter di hukum seperti itu. Dan selanjutnya untuk sebagai individu jika kita berbuat kerusuhan itu
merupakan sebuah tindakan kriminal dan jelas melanggar hukum, apapun itu alasannya, dan pasti jika kita bertindak melawan hukum, mungkin
kita kita bisa berurusan dengan pihak yang berwajib. Orang lain pun juga bisa kena dampak kerusuhan itu, seperti kejadian di Bandung,
hanya karena pake mobil ber plat-B maka mobil mereka dirusak, walaupun mereka sebenarnya tidak tau menahu. atau warung-warung atau rumah warga yang rusak karena menjadi target pelemparan baru oleh oknum-oknum suporter yang tidak bertanggung jawab. Dan, siapa yang rugi? banyak sekali yang dirugikan karena kerusuhan.

Jika kita bisa berfikir lebih dewasa, maka kita mungkin dan pasti bisa menghindari kerusuhan suporter di dalam sebuah pertandingan sepakbola.
Apa keuntungan yang bisa kita dapatkan dari berbuat rusuh dan anarki? toh jika kita protes, melempari pemain/wasit/ofisial/kelompok suporter lain tidak akan mengubah hasil, jika tim kita kalah ya tetap kalah, dan ulah yang diperbuat
suporter itu apa akan merubah hasil akhir? apa akan merubah keputusan wasit? tidak akan, malahan kita akan mendapatkan hukuman. Klub-klub besar di eropapun juga sering mengalami kekalahan dikandang.

Tapi itu tidak menghalangi mereka untuk menjadi juara di akhir musim. Jika di eropa sedang dikampanyekan anti rasisme di sepak bola, tapi kita di Indonesia juga harus mengkampanyekan anti kerusuhan di sepakbola, karena masih sering kita lihat terjadinya kerusuhan di sepakbola kita. Jika Aremania merupakan leader kelompok suporter yang atraktif, dan Walaupun tim kebanggaan kita hanya di divisi utama, mari kita jadikan Slemania sebagai leader kelompok suporter yang mengkampanyekan suara perdamaian dan anti kerusuhan.

Kita harus mendukung tim dengan pikiran yang lebih dewasa, kalahkan ego, kita terima dengan lapang dada hasil akhir pertandingan, kita hilangkan yel-yel dan nyanyian provokasi, dan mari kita menjadi suporter yang baik, walaupun kita bukan suporter terbaik. Dengan memulai meneriakkan kedamaian dari bumi Sleman, semoga kerusuhan di
dalam sepakbola Indonesian akan segera menghilang, dan liga di Indonesia benar-benar liga sepakbola yang no anarhcy, no riot, no racism and just football...

FIGHT AGAINST RIOT ON FOOTBALL
KEDAMAIAN AKAN SELALU SLEMANIA TERIAKKAN!!!

Akhirnya Punya Blog

Asyik...Asyik..Yuk Ngeblog