Kamis, 27 November 2008

Rabu, 26 November 2008

Jumat, 21 November 2008

Kamis, 20 November 2008

S.O.P



Selamatkan Klub Yang Kita Banggakan!!!


Manajemen PSS Sleman memperkirakan, dana yang dimiliki timnya hanya akan mampu bertahan hingga putaran pertama Divisi Utama. Pasalnya, tim tersebut tidak mendapatkan dana bantuan dari APBD Kabupaten Sleman sehingga mengalami defisit anggaran lima miliar rupiah lebih.“Krisis keuangan ini benar-benar menghambat operasional termasuk membayar gaji pemain yang tertunda sejak September. Meski demikian, kami berupaya untuk bisa menyelesaikan putaran pertama,” kata General Manajer PSS Sleman, Joko Handoyo, Rabu (19/11).

Menurut Joko, pencairan dana dari APBD terhambat oleh adanya aturan dari Menteri Dalam Negeri yang melarang klub sepak bola mendapat kucuran dana dari pemerintah daerah. “Apapun caranya, dana APBD tidak dapat dicairkan sehingga kami berupaya mencari dana dari sponsor,” katanya.

Ia mengatakan saat ini PSS masih menyisakan empat pertandingan pada putaran pertama, yakni dua pertandingan kandang dan dua tandang. PSS berusaha agar dapat menyelesaikan sisa pertandingan putaran pertama ini, tapi belum memiliki rencana tentang laga di putaran kedua nanti. Selain itu, mereka juga masih mempertimbangkan keikutsertan dalam Copa Indonesia yang sudah mulai bergulir.

“Kami berupaya menyelesaikan pertandingan tersebut dengan dana yang ada ditambah pemasukan penjualan tiket dan sponsor,” lanjut Joko. “Bisa saja kami mundur dari ajang Copa Indonesia, karena kami memang kesulitan dana. Tetapi kami akan coba dulu jika memang memungkinkan akan tetap dilanjutkan.”

Selasa, 18 November 2008

BIANG KEROK BOBROKNYA PSS SLEMAN


PECAT BAMBANG NURJOKO SEKARANG JUGA!!!

Minggu, 16 November 2008

We were more than a team, we’re a nation (Booby Moore)

Uki Nugraha melambaikan tangannya pada istri dan anaknya di Bandara Hasanuddin, Makassar. Kaos merah yang ia pakai bertuliskan Indonesia, dan selempang syal yang juga bertuliskan Indonesia melilit di lehernya. Di stasiun Kota Baru, Malang, Yuli Sugiyanto alias Yuli Soemphil mengangkat tasnya yang dipenuhi oleh kaos-kaos pesanan dari Jakarta “Sebenarnya tidak semuanya pesanan, tapi inilah modal saya untuk bisa bertahan di Jakarta,” ujarnya. Bersama ratusan Aremania lainnya di dalam kereta, Yuli berulang kali menyanyikan “Ke Jakarta mendukung Indonesia, ke Jakarta demi Garuda,”.

Hari itu hanya satu hari menjelang partai awal Indonesia melawan Bahrain, pertunjukan pembuka Piala Asia 2007. Di saat yang bersamaan pula, Daru membenturkan kaleng birnya ke kaleng bir lainnya, bersama teman-temannya, ia berangkat ke Jakarta dari Sleman demi Indonesia. Hari itu, ribuan orang menuju Jakarta, semua menuju Gelora Bung Karno dan semua menjadi satu atas nama Indonesia!

“Hanya satu alasan untuk pergi mendukung tim sepakbola, karena kami orang Inggris,” tegas Antony Sutton, kolumnis ESPN yang kini menetap di Serpong. Lelaki yang pernah merasakan berbagai kekerasan di luar stadion ini berkisah panjang lebar tentang berbagai perjalanannya menembus Eropa demi St George Cross “Inggris adalah tanah air kami, sepakbola adalah bentuk nyata dari patriotisme modern,” ujarnya.

Banyak orang menganggap bahwa sepakbola hanyalah sekedar permainan “yang dimainkan oleh 22 lelaki bercelana pendek yang berlari-lari mengejar sebuah bola”. Bisa jadi ini benar, namun pada faktanya sepakbola memiliki makna yang jauh lebih besar dari itu. “Penyatu kelas,” ujar Alessandro Solar Luna, seorang filmmaker asal Mexico yang juga pencinta klub UNAM. “Meksiko adalah negeri dengan kesenjangan sosial yang sangat tinggi, antar kelas memiliki prasangkanya masing-masing pada kelas yang lain….tetapi sepakbola mampu menyatukan mereka,”

Solar tentu saja mencoba mengacu pada setiap dukungan yang ia lihat pada setiap laga timnya sendiri. Ia adalah representasi kelas menengah di Mexico City, ibukota negara. Seorang pekerja audio visual yang tentu saja memiliki kemampuan finansiial yang relatif jauh lebih baik daripada kebanyakan orang kota tersebut yang memang kurang lebih sama dengan Jakarta, kurang beruntung. “Selain di stadion, saya nyaris tidak pernah berbaur dengan mereka, sepakbola adalah penyatu kami,” kisahnya sembari lalu bercerita panjang lebar tentang Gael Garcia Bernal, si bintang ternama negeri sombrero yang juga rajin menonton UNAM dan tentu saja tidak jarang berpelukan dengan masyarakat berkelas ekonomi di bawahnya di saat timnya mencetak gol.

“Sepakbola membuat kami bangga,” tegas Davor Suker, top skorer Piala Dunia 1998. Seperti orang-orang Kroasia lainnya, Suker merasa sangat berterima kasih pada sepakbola “Olahraga inilah yang mengenalkan kami pada dunia,” ujarnya lagi. Terdengar berlebihan? Tapi coba kita tarik sedikit akar sejarah berdirinya negeri Kroasia. Perpecahan yang terjadi di kawasan Balkan menimbulkan perang saudara dan aneka konflik di kawasan itu. Salah satu negara yang kemudian lahir adalah Kroasia. Lalu, siapa yang kemudian mampu dengan cepat mengenali keberadaan negeri ini disamping daerah-daerah tetangganya? Bahkan kita di Indonesia saja saat itu sibuk memberi simpati kita pada Bosnia tetangga mereka.

Kroasia sama sekali tidak terdengar di belahan manapun di dunia ini, bahkan Solar pernah berkata pada saya “Kalau mereka tidak ada di Piala Dunia, mana mungkin saya tahu dimana mereka,” katanya terkekeh-kekeh. Menaklukkan Jerman, melaju ke semifinal dan memukul Belanda di perebutan juara ketiga seketika melontarkan Kroasia ke jajaran peta dunia. Jangan heran jika sepakbola kini menjadi olahraga nasional dan negara menjadikannya sebagai salah satu aset yang harus terus diperhatikan dengan baik.

Siapa kenal Pantai Gading atau Togo sebelum akhirnya mereka muncul di Piala Dunia 2006 Jerman? “Bahkan jalan raya saja kami tidak punya,” ujar Stephen yang saya temui di sudut sebuah jalanan Stuttgart saat timnya akan bertarung melawan Korea Selatan. “Nama Trinidad dan Tobago juga baru kali ini saya dengar,” ujar Patryk Ciechocinsky lelaki asal Polandia di kesempatan lain.

Sebegitu tinggikah nilai sepakbola? Saya dengan berani berkata iya! Tidak ada lagi permainan di muka bumi ini yang memiliki daya hipnotis sedahsyat sepakbola. Hanya di permainan inilah umat manusia tiba-tiba memiliki representasi hidupnya, sosialnya ataupun identitasnya. John Potter asal Portsmouth bisa-bisanya rela mentato punggungnya dengan tulisan “Pompey ‘till I die,” hanya untuk menggambarkan darimana ia berasal dan tim apa yang ia pilih.

“Jika lukisan yang terpajang di museum atau kesusastraan adalah bentuk budaya, maka sepakbola adalah juga sebuah budaya yang terpajang megah di stadion,” ujar Eduardo Galeano seorang sastrawan asal Uruguay. Bagi saya, budaya baru ini kini telah menjelma menjadi lambang patriotisme sesungguhnya. Ketika era modern sudah meninggalkan jauh prinspi-prinsip penaklukan dan invasi terhadap bangsa lain, sepakbola adalah medium bagi kita untuk menunjukkan siapa diri kita.

Dalam hidup, hanya stadion sepakbola tempat saya bernyanyi lagu Indonesia Raya dengan lantang. Tanyakan juga pada ribuan orang Indonesia lainnya (kecuali kaum militer tentunya), kapan terakhir mereka dengan sukarela menyebut-nyebut nama Indonesia dengan rasa bangga, memuja Burung Garuda setinggi langit hanya sepersekian detik setelah mereka menyanyikan lagu kebangsaan dengan linangan air mata di pipi. Gelegar nama Indonesia saat itu jauh melampau dari apa yang pernah dibayangkan kebanyakan orang Indonesia yang kebanyakan memang sudah skeptis pada bangsa ini. Saya bahkan percaya, hanya di saat itulah Presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono bisa menemukan pemandangan yang saya percaya juga menggetarkan dirinya .

Pada sepakbola kita menggantungkan harapan, di sana pula kita menyematkan diri kita untuk direpresentasikan, maka di sepakbola pula kita bisa memiliki rasa bangga pada negeri kita…..tak peduli sebobrok apapun negeri ini. Sore itu, tak lama setelah Indonesia takluk 0-1 dari Korea Selatan dan jalan kita ke perempat final sama sekali tertutup. Saya melihat Uki yang menangis meratapi negaranya, Yuli yang memandang nanar ke dalam lapangan atau Daru yang saya lihat terus terdiam di luar lapangan. Saya juga melihat ribuan orang lainnya yang sebangsa dengan saya yang masih terpukul pada kegagalan yang sebenarnya sudah diprediksi banyak orang

. Di rumah saya mengangkat putri saya yang saat itu belum berusia satu bulan dan berkata “Indonesia kalah nak, tapi suatu hari kita harus menang, kamu musti lihat apa yang terjadi di stadion tadi untuk tahu apa yang sudah digantungkan bangsa ini pada 11 orang di lapangan sana,” lalu saya melipat bendera Merah Putih yang seharian melingkar di badan dan membuka baju putih berlambang Garuda di dada.

Andibachtiar Yusuf

(Filmmaker & Football Reverend)

"Tulisan dibuat sebagai Kata Pengantar buku REPUBLIK GILA BOLA karya Ubaidillah Nugraha"

Di Titik Darah Penghabisan

“Sepakbola selalu menjadi rumit pada saat tim lawan muncul di lapangan yang sama,” ujar Friedrich Nietzsche, seorang filsuf penuh legenda dan kontroversi. Lelaki yang terkenal dengan pernyataan “Tuhan sudah mati,” ini adalah seorang pencinta sepakbola sejati dan bahkan sempat bermain di sebuah klub kecil di kota kelahirannya di negeri Jerman.

Fathul Mishuda berusia 27 tahun, tinggal di Jakarta dan tentu saja ia tidak mengenal Nietzsche bahkan bisa jadi tidak pernah tahu pemikiran-pemikiran sang filsuf. Namun, Fathul yang terakhir bekerja di kantor Walikota Jakarta Selatan ini saat ini tentu telah semakin memahami ucapan Nietzsche di awal tulisan ini.

Hari itu Rabu 6 Februari 2008, tak ada yang istimewa bagi kebanyakan orang, namun menjadi sangat penting bagi Fathul. Memutuskan untuk pulang lebih cepat dari tempatnya bekerja, tekadnya sangat jelas hari itu…menyaksikan tim kesayangannya berlaga di semifinal Liga Indonesia. Kaos hitam bertuliskan “Persija Sampai Mati” ia pakai sebagai asesoris terbaik di hari yang dinantikan oleh seluruh Jakmania atau pencinta Persija. Setelah terus berpuasa gelar, inilah hari kemenangan bagi timnya. Demikian kira-kira pikir Fathul.

Bergeraklah ia bersama seorang temannya menumpang bus kota yang akan melewati Jl Sudirman yang adalah akses utama menuju stadion kebanggaan warga Indonesia. Sore itu lagi-lagi tidak ada yang istimewa, bahkan oleh aparat keamanan sekalipun. Tak peduli 4 tim terbaik dengan basis massa yang sangat fanatik siap beradu di stadion berkapasitas nyaris 100 ribu ini, tak terlihat satupun keamanan bersiap di lingkar luar stadion. Padahal Jl Sudirman adalah bagian dari nadi utama ekonomi Indonesia dengan segala gedung bertingkat, mewah dan seharusnya dijaga itu.

Persipura adalah tim dengan sekumpulan talenta brilian, pemain-pemain asal ujung timur Indonesia dengan modal bakat alam yang luar biasa. Sementara PSMS asal Medan adalah salah satu tim penuh tradisi di tanah air, dengan bekal strategi yang tepat mampulah mereka meredam setiap serangan para mutiara hitam, memaksa pertandingan sampai ke babak adu penalty sekaligus kemudian memenangkan pertandingan. Layaknya saya yang sempat tak percaya Persipura gagal meluncur ke final, para pendukung mereka pun seolah terpana tak percaya. Layar televisi menayangkan ekspresi Boaz Solossa, Alberto Goncalves dan ribuan pendukung mereka yang tampak sangat kecewa pada hasil akhir pertandingan.

Tapi inilah sepakbola, seperti hidup yang kadang memang tidak adil. Penuh rasa kecewa, pendukung Persipura berhamburan pulang dan melupakan partai selanjutnya. Sementara itu di saat yang sama para Jakmania terus berdatangan bersiap mendukung tim ibukota menuju puncak tertinggi Liga Indonesia. Lalu kenanglah pertemuan mereka di final Liga 3 tahun lampau, saat Persipura memenangkan pertandingan dan Gelora Bung Karno menjadi saksi baku hantam hebat antara kedua belah pendukung yang merambat cepat sampai jauh keluar pagar kompleks Senayan. Kenang juga perkelahian yang nyaris terjadi beberapa minggu lalu saat Persija lagi-lagi takluk di tangan para mutiara hitam.

Nyatanya modal dua kenangan buruk ini sama sekali tidak membuat Gelora Bung Karno dipenuhi aparat keamanan yang benar-benar bertugas menjaga keamanan, lagi-lagi jumlah pengamanan yang minim menjadi alasan padahal pada sebuah partai derby Manchester City melawan Manchester United saja seluruh kota bagai dipenuhi oleh pasukan pengamanan baik yang berkuda, bermobil atau sekedar berjalan kaki.

Sepakbola adalah olahraga seluruh masyarakat Indonesia, tak heran jika para pencinta sepakbola adalah gambaran masyarakat Indonesia secara luas. Kekerasan yang kerap terjadi di setiap kegiatan Pilkada, perusakan rumah-rumah ibadah, demonstrasi yang berkembang menjadi penembakan atau tawuran antar mahasiswa atau golongan adalah gambaran betapa masyarakat Indonesia memang sangat dekat dengan kekerasan.

Modal pemahaman ini nyatanya tetap “tidak membuat jera” mereka yang selalu menyebut para pendukung sepakbola sebagai pengacau. Saya melihat bagaimana keributan dimulai di areal depan Hotel Atlet Century yang sama sekali tidak dihalangi oleh pihak keamanan—yang memang sangat minim—tak peduli sudah 4 bus kota yang ditumpangi para Jakmania rusak akibat aksi balas menyerbu yang dipertunjukkan oleh pendukung Persipura.

Di Jl Jendral Sudirman Fathul akhirnya meneteskan darahnya yang terakhir di sudut angkutan kota kelahirannya. Di dalam bus yang padahal melewati akses utama menuju stadion ini ia membuktikan kalimat yang tertulis di kaosnya. Fathul tewas, pencinta sepakbola Indonesia semakin terpidana dan sepakbola Indonesia makin merana. Sementara orang semakin lupa bahwa sepakbola jauh lebih rumit dari yang dikira dan semakin rumit lagi jika lawan muncul di tengah lapang.

Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Football Reverend

"dimuat di Topskor, pada suatu hari lewat"

"Football without supporters is life without sex,"

"Football without supporters is life without sex," ujar Jock Stein, legenda sepakbola asal Skotlandia yang memahami betul arti pendukung dan penonton bagi timnya. Apalah arti sepakbola tanpa gemuruh dan sorak sorai penontonnya, bahkan industri itu sendiripun akan mati, apalagi yang selalu saya atau Eduardo Galeano sebut sebagai 'budaya baru umat manusia'. Tiga hari sudah Liga Super Indonesia berjalan dan saya melihat dengan jelas betapa Badan Liga Indonesia tidak terlalu memahami apa yang pernah dicetuskan oleh Jock bertahun silam.

Saya memahami bahwa untuk menjadi sebuah liga yang matang, kompetisi harus dikuti oleh tim-tim bermodal kuat, bisa dipertanggungjawabkan dan jika merunut tradisi di Inggris....maka sebuah klub sepakbola harus memiliki stadionnya sendiri. Tapi itu di Inggris, fondasi industri sepakbola mereka jauh melampaui kebudayaan kita sendiri. Manajemen sepakbola dan kompetisi profesional sudah mereka mulai saat Bung Karno masih berteriak-teriak soal nasionalisme dan Tan Malaka sibuk beradu debat dengan Sutan Sjahrir.

Lupakan bentuk ideal stadion yang tepat bagi klub peserta liga, yang terpenting adalah klub bisa mandiri dan tidak menetek pada pemerintah. Bahkan Maradonna pun tidak akan pernah bisa besar tanpa pencinta sepakbola. Mengapa harus menyalahkan pendukung? Coba salahkan kesiapan perangkat pertandingan dan keamanan, karena sepakbola bukan sekedar permainan....sepakbola terlalu besar untuk hanya berdiri sendiri, terlalu banyak faktor yang membuat sepakbola jadi bernilai dan berharga atau sebaliknya ternista dan mati tanpa kemeriahan.

Rabu, 05 November 2008

POLISI TAI ANJING


All cops are bastards
Barbecue their dicks
Barbecue their dicks
All cops are bastards
Roast their penises
Yeah, yeah yeah yeah

apapun kulakukan demi sebuah harga diri



Senin, 08 September 2008

Pride Of 1976


Disini kubernyanyi hanya untukmu
Disini kuberlari mengawalmu
Walaupun hujan batu kutetap bersatu
Walupun caci maki kan menghampiri

Tekadmu slalu ada dalam nafasku
Semangatmu slalu ada dalam hidupku
Kepakkanlah sayapmu hancurkan musuhmu
Dan jayalah PSS Super Eljaku

Kemenangan slalu kunantikan
Bertarunglah demi kejayaan
Kami kan slalu mendukungmu
Kemenangan slalu kunantikan
Bertarunglah demi kejayaan
Jiwa ragaku bersamamu


ROAD TO DERBY!!!!


di atas tribun kami bernyanyi..di atas tribun kami bersorak demi satu nama besar PSS..demi kejayaan Jogjakarta kami hanya ingin kemenangan Persiba"su"....dibunuh saja!!! lalala..lal.lala.la..lalalala





PANORAMA STADION MAGUWOHARJO.....INI KANDANG KITA BUNG!!!

Suporter (sedang) Belajar, Belajar (pada) Suporter

Ada banyak persoalan yang dihadapi bangsa ini, terutama masih banyaknya fenomena kekerasan baik oleh massa atau individu. Namun dalam menyikapi berbagai persoalan itu kita bisa banyak belajar dari kelompok-kelompok suporter sepakbola di Indonesia. Ada memang beberapa kejadian kerusuhan yang melibatkan kelompok suporter sebagai bentuk kekerasan massa. Bahwa keributan dan kerusuhan itu membawa konsekuensi kerugian bagi masyarakat banyak masih sering terjadi namun dari waktu ke waktu frekuensi dan skala kerusuhan yang melibatkan suporter makin berkurang dan mengecil. Sepanjang waktu kelompok suporter berinteraksi dengan kelompok suporter yang lain, terdapat dinamika, dan mereka memetik pengalaman serta belajar menjadi lebih dewasa dalam segala hal.

Disaat terdapat fenomena institusi pendidikan yang diharapkan nantinya menghasilkan aparat pengayom masyarakat tetapi yang terjadi adalah pendidikan penuh kekerasan dan arogansi senior atas yuniornya yang mengakibatkan jatuh korban jiwa. Disisi yang lain kelompok suporter terus giat berbenah diri, berlaku tertib didalam dan diluar lapangan, terus menerus memupus kekerasan dan mengkampanyekan persahabatan antar kelompok suporter dan sikap menghormati sesama suporter. Ketika para pejabat, birokrat, dan wakil rakyat yang terhormat gagal mengemban amanat namun putus urat malunya hingga tetap bertahan bahkan ”bermain sirkus” dengan aksi tipu-tipu pada rakyat. Dilain pihak suporter masih bisa merasa malu ketika diteriaki ”ndeso” atau kampungan apabila perilaku mereka mengganggu pertandingan seperti melempar benda ke lapangan atau menerabas masuk stadion tanpa tiket. Bagi mereka, masuk dan menonton haruslah dengan membayar. Sehingga tak aneh apabila mereka kemudian bekerja keras dan berpikir kreatif untuk mendapatkan uang demi membeli tiket pertandingan. Melancong menemani timnya bertanding dikandang lawan hanya dengan transportasi dan akomodasi sekedarnya pun sanggup mereka jalani. Bukankah itu jauh lebih baik daripada mereka yang meminta berbagai fasilitas yang serba wah untuk kepentingan pribadi namun dengan memakai uang rakyat?

Disaat suhu pertandingan memanas mereka tetap berusaha berpikir jernih dan bertindak proporsional. Saat perekonomian mereka tak cukup baik menopang kehidupan sehari-hari mereka tetap menyalakan harapan dengan tetap berusaha membeli tiket pada setiap ritual menonton mereka. Kala perhatian otoritas tertinggi pada mereka jauh dari harapan, yang lebih sibuk dengan urusan memberi hukuman dan sanksi yang kerap salah sasaran dan tak benar-benar mendidik untuk lebih baik, para suporter itu tetap giat memperbaiki diri, memperkukuh semangat dan menjadi jauh lebih beradab pada setiap sikap hidupnya.

Semestinya kita tak perlu berkecil hati dan terus memupuk optimisme meski prestasi sepak bola nasional tak kunjung mekar, akibat salah urus dari pengurus yang berwatak oportunis, karena kita masih memiliki banyak sekali orang yang begitu mencintai sepakbola dan kehidupannya dalam wujud sebagai suporter. Kahlil Gibran (1883 - 1931), mewariskan kalimat indah"Segala kerja adalah hampa kecuali ada cinta”. Cinta adalah kekuatan terbesar yang menjadi modal yang berharga untuk membawa kehidupan sepakbola nasional juga kehidupan negeri ini menjadi lebih baik. Semangat dan cinta dari suporter selayaknya dijadikan obligasi moral bagi kita semua yang peduli pada persoalan sepakbola nasional yang macet maupun persoalan kehidupan berbangsa yang masih suram.

Penting untuk selalu mempertahankan sikap peduli, kerelaan dan kebersihan hati untuk memberi koreksi pada setiap bentuk penyimpangan dan kekeliruan disekitar kita. Peduli dan kritis adalah bentuk keimanan paling kuat yang harusnya dimiliki oleh tiap jiwa manusia. Mari terus belajar...

Sepakbola adalah Konflik dan Kompetisi

Permainan sepakbola bersifat timbal balik, dengan sifatnya tersebut sepak bola jelas tidak bisa untuk dimainkan sendirian. Dalam praktiknya, sepakbola merupakan interaksi dua pihak yang saling melawan satu sama lain dalam suatu permainan untuk memperebutkan hadiah tertinggi yaitu kemenangan. Seperti sebuah dialektika, sintesa yang berupa kesempurnaan dan keindahan permainan sepak bola lahir dari pertentangan dua tim yang bertanding yang berbuah hasil yang kontras yaitu kemenangan di satu pihak dan kekalahan di pihak yang lain. Dalam sepakbola senantiasa menampilkan dua wajah yang kontradiktif sebagai suatu keniscayaan yang tak bisa dipungkiri. Suatu fenomena yang di dalamnya termuat elemen menang dan kalah, sportifitas dan culas, kegembiraan dan kekecewaan, sanjung puji dan caci maki, dan sebagainya.

Sepakbola adalah bentuk konflik dan kompetisi sekaligus. Sebagai bentuk konflik karena pada dasarnya sepakbola merupakan olahraga yang didalamnya terdapat upaya saling mengalahkan untuk memperoleh kemenangan. Sedangkan spirit kompetisi diwujudkan dengan adanya aturan-aturan permainan, yang dibuat oleh otoritas yang berwenang, guna menjamin keadilan dalam lapangan. Secara umum konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan pertentangan antara dua pihak atau lebih. Sehingga wujud konflik dan kompetisi direpresentasikan tidak hanya oleh dua puluh dua orang di lapangan yang terbagi dalam dua tim yang berbeda tetapi melibatkan official dan seluruh komponen tim serta pendukung atau suporter masing-masing.

Suporter sebagai bagian yang terlibat langsung dengan tim yang bertanding ikut terseret dalam situasi konflik tersebut. Suporter hadir di arena pertandingan dengan tujuan mendukung untuk menaikkan mental dan moral tim yang didukung sekaligus meneror mental tim lawan. Ketika dua kelompok suporter bertemu di arena pertandingan dengan tujuan yang sama namun berbeda tim yang didukung maka yang terjadi adalah pertentangan, perang yel-yel, saling ejek dan lain-lain. Konflik yang terjadi antar kelompok suporter jelas tidak bisa dipisahkan dari konflik dan kompetisi yang terjadi pada klub yang mereka dukung. Sebab suporter senantiasa mengidentifikasikan dirinya dengan tim yang mereka dukung.

Konflik antar suporter sebagai suatu keniscayaan, terjadi ketika mereka bertemu di arena dan mungkin saja masih berlanjut setelah pertandingan usai. Meski terdapat konflik tidak berarti hal tersebut bernilai negatif karena pada dasarnya konflik berbeda dengan kekerasan. Konflik tidak selalu dapat dilihat dengan kasat mata. Menurut Dr. A. Munir Mulkhan, dkk, dalam bukunya ”Kekerasan dan Konflik: Tantangan Bagi Demokrasi” (Forum LSM DIY, 2001) menjelaskan bahwa konflik bukan sekedar peristiwa atau “fakta” seperti tawuran, perang, revolusi sosial, demontrasi, aksi massa, dan lain-lain tetapi juga dimengerti sebagai sudut pandang, perspektif dalam melihat atau memandang peristiwa-peristiwa sosial.

Lewis Alfred Coser (1913-2003), Presiden ke-66 American Sociological Association sekaligus penulis buku The Functions of Social Conflict, menerangkan bahwa konflik merujuk pada suatu keadaan pertentangan antar dua atau lebih kelompok dengan identitas yang jelas. Pertentangan tersebut dapat berupa pertentangan kepentingan atas sumber daya, pengakuan atau gengsi dan tidak selalu disertai dengan kekerasan. Pada akhirnya semua mesti bisa memaklumi bahwa konflik merupakan suatu hal yang lumrah apalagi dalam dunia suporter sepakbola namun tidak perlu pemakluman alias toleransi untuk kekerasan. Meski faktanya kekerasan kerap kali singgah dalam hingar bingar dunia sepak bola namun secara filosofis, kekerasan tidak sejalan dengan semangat sportifitas sepak bola sebagai suatu bidang olahraga. Kekerasan menjadi musuh utama bagi pecinta dan suporter sejati sepak bola.

PSS Jiwa RagaKu!!!

Desember 2004 (aku wis lali tanggal piro, dino opo, lan jam piro) kala itu, aku iseng-iseng meh muter-muter kota Jogja. Bosan menjadi motovasiku untuk mulai menggeber motor butut Honda Super Cup Merah keluaran tahun 1980an.

Berangkat dari seputaran jalan monjali menuju ke selatan, aku ngikut aja kemana pikiranku akan pergi....tiba-tiba...dari arah belakang...tet..tet.tettet..mbrung-mbrung..suara bising blayeran sepeda motor mengusik kenikmatan perjalananku. "masa bodho" pikirku waktu itu, aku cuek alias ra nggagas! Tapi suara bising itu terus mengusik pikiran dan menyita perhatuianku...sejanak perlahan aku mulai menepi....kutoleh kebelakang...ada apakah gerangan...dan..eng...ing..eng...

Sekelompok (ratusan jumlahnya) dengan kostum berwarna hijau-hijau...dengan euforia yang begitu luar biasa tengah unjuk gigi dijalanan...massa partaikah pikirku. Hati ini mulai terusik, seakan bertanya siapakah mereka? ketika mereka tepat dibelakangku...sepintas aku cermati mereka...samar-samar aku lihat tulisan dibaju yang mereka kenakan...."SLEMANIA"...

Oalah....Slemania to...penonton bola rupanya...fiuh..aku kira siapa, pikirku. Setelah mereka berlalu, aku segera kembali melanjutkan jalan-jalan soreku..setelah melintasi jalan Sudirman, di perempatan Gramedia aku putuskan untuk belok ke kanan menuju arah stadion kridosono...tiba-tiba...puh...macet bukan main. Ada apa to ini? Walah mereka lagi-lagi (slemania). Wah jan...umpatku (meski sebetulnya aku juga tertegun melihat euforia yang tercipta...dahsyat!!!). Setelah lalin kembali lancar, tiba-tiba terpikir olehku untuk mengikuti rombongan Slemania itu. Lalu bergegas aku menyusul rombongan tadi. Setelha megikuti, aku baru tersadar o iya, PSS hari ini main...nonton ah..pikirku spontan.

Sesampainya di stadion Mandala Krida, kuparkir sepeda motor bututku, lalu antri beli tiket di loket. Setelah berdesak-desakan cukup lama, akhirnya tiket kudapat juga...ooo...PSS lawan Persib Bandung rupanya..wah pasti seru pikirku. Tapi kok ada yang kurang ya...aku pikit-pikir lagi apa ya....sambil jalan aku berpikir kok ada yang kurang ya...ehmmmmm..na...atribut. Wah gimana neh, aku ndak pake atribut apa-apa, sedangkan disini banyak ribuan orang lengkap dengan atributnya.

kulihat sisa duit yang kubawa..40rb...wah dapat apa ya kalo dibelikan atribut, tanyaku dalam hati..ah coba dulu sapa tau dapat. Lalu aku bergegas menuju stan-stan yang ada disekitar stadion yang menjual berbagai macam atribut...lihat-lihat, wah beli syal aja harganya jg cukp murah 15ribu. pak syale siji...

nah sekarang dah pakai atribut, masuk ah...buset antri lg!! begitu melewati masuk...glek...buseeeeet!!! hijau semua....

(bersambung ya)

Fight Against Riot on Football

Kerusuhan mungkin sudah menjadi tradisi di sepak bola Indonesia. Format liga baru dengan title Indonesia Super League (ISL) ternyata belum bisa mengubah mental/kalakuan suporter tanah air ini. Kejadian terakhir yaitu rusuhnya suporter dari Persib Bandung yang dikenal dengan nama Bobotoh/Viking/Boomber. Kenapa suporter kita sering melakukan tindakan-tindakan anarkis dan berakhir dengan kerusuhan.

Alasan yang sering muncul yaitu karena ketidakpuasan karena tim yang di dukung mengalami kekalahan, apalagi di kandang sendiri. Dan, jika
yang mengalahkan itu adalah rival abadinya. Alasan lainnya yaitu loyalitas sebagai suporter. Memang, loyalitas memang diperlukan untuk mendukung tim yang diidolakan, Kepemimpinan wasit yang tidak tegas, dan juga dendam antar kelompok suporter juga menjadi salah satu alasan mengapa sering terjadi kerusuhan di sepak bola.

Tetapi, apakah alasan-alasan seperti itu dibenarkan jika terjadi kerusuhan didalam pertandingan sepak bola? Sebenarnya kerusuhan hanya akan merugikan Klub, suporter secara kelompok, maupun suporter secara individu, dan juga berimbas pada orang lain yang mungkin saja
tidak ada hubungannya dengan sepakbola itu sendiri. Pertama, klub pasti di denda jika suporternya berbuat rusuh pada saat pertandingan
baik itu denda dalam bentuk uang sampai puluhan juta rupiah, ataupun larangan usiran partai kandang, yang jelas akan mengurangi pendapatan
dari penjualan tiket pertandingan (jika memang komdis bersikap tegas).

Untuk kelompok suporter juga akan mengalami kerugian, seperti pendukung Arema Malang (Aremania) atau pendukung Persib Bandung
(Bobotoh/Viking/Boombers) mereka dlarang masuk keseluruh stadion di Indonesia (antara1 -2 tahun) jika memakai atribut masing2 suporter, bisa dibayangkan jika kita sebagai suporter di hukum seperti itu. Dan selanjutnya untuk sebagai individu jika kita berbuat kerusuhan itu
merupakan sebuah tindakan kriminal dan jelas melanggar hukum, apapun itu alasannya, dan pasti jika kita bertindak melawan hukum, mungkin
kita kita bisa berurusan dengan pihak yang berwajib. Orang lain pun juga bisa kena dampak kerusuhan itu, seperti kejadian di Bandung,
hanya karena pake mobil ber plat-B maka mobil mereka dirusak, walaupun mereka sebenarnya tidak tau menahu. atau warung-warung atau rumah warga yang rusak karena menjadi target pelemparan baru oleh oknum-oknum suporter yang tidak bertanggung jawab. Dan, siapa yang rugi? banyak sekali yang dirugikan karena kerusuhan.

Jika kita bisa berfikir lebih dewasa, maka kita mungkin dan pasti bisa menghindari kerusuhan suporter di dalam sebuah pertandingan sepakbola.
Apa keuntungan yang bisa kita dapatkan dari berbuat rusuh dan anarki? toh jika kita protes, melempari pemain/wasit/ofisial/kelompok suporter lain tidak akan mengubah hasil, jika tim kita kalah ya tetap kalah, dan ulah yang diperbuat
suporter itu apa akan merubah hasil akhir? apa akan merubah keputusan wasit? tidak akan, malahan kita akan mendapatkan hukuman. Klub-klub besar di eropapun juga sering mengalami kekalahan dikandang.

Tapi itu tidak menghalangi mereka untuk menjadi juara di akhir musim. Jika di eropa sedang dikampanyekan anti rasisme di sepak bola, tapi kita di Indonesia juga harus mengkampanyekan anti kerusuhan di sepakbola, karena masih sering kita lihat terjadinya kerusuhan di sepakbola kita. Jika Aremania merupakan leader kelompok suporter yang atraktif, dan Walaupun tim kebanggaan kita hanya di divisi utama, mari kita jadikan Slemania sebagai leader kelompok suporter yang mengkampanyekan suara perdamaian dan anti kerusuhan.

Kita harus mendukung tim dengan pikiran yang lebih dewasa, kalahkan ego, kita terima dengan lapang dada hasil akhir pertandingan, kita hilangkan yel-yel dan nyanyian provokasi, dan mari kita menjadi suporter yang baik, walaupun kita bukan suporter terbaik. Dengan memulai meneriakkan kedamaian dari bumi Sleman, semoga kerusuhan di
dalam sepakbola Indonesian akan segera menghilang, dan liga di Indonesia benar-benar liga sepakbola yang no anarhcy, no riot, no racism and just football...

FIGHT AGAINST RIOT ON FOOTBALL
KEDAMAIAN AKAN SELALU SLEMANIA TERIAKKAN!!!

Akhirnya Punya Blog

Asyik...Asyik..Yuk Ngeblog