Kamis, 27 November 2008

Rabu, 26 November 2008

Jumat, 21 November 2008

Kamis, 20 November 2008

S.O.P



Selamatkan Klub Yang Kita Banggakan!!!


Manajemen PSS Sleman memperkirakan, dana yang dimiliki timnya hanya akan mampu bertahan hingga putaran pertama Divisi Utama. Pasalnya, tim tersebut tidak mendapatkan dana bantuan dari APBD Kabupaten Sleman sehingga mengalami defisit anggaran lima miliar rupiah lebih.“Krisis keuangan ini benar-benar menghambat operasional termasuk membayar gaji pemain yang tertunda sejak September. Meski demikian, kami berupaya untuk bisa menyelesaikan putaran pertama,” kata General Manajer PSS Sleman, Joko Handoyo, Rabu (19/11).

Menurut Joko, pencairan dana dari APBD terhambat oleh adanya aturan dari Menteri Dalam Negeri yang melarang klub sepak bola mendapat kucuran dana dari pemerintah daerah. “Apapun caranya, dana APBD tidak dapat dicairkan sehingga kami berupaya mencari dana dari sponsor,” katanya.

Ia mengatakan saat ini PSS masih menyisakan empat pertandingan pada putaran pertama, yakni dua pertandingan kandang dan dua tandang. PSS berusaha agar dapat menyelesaikan sisa pertandingan putaran pertama ini, tapi belum memiliki rencana tentang laga di putaran kedua nanti. Selain itu, mereka juga masih mempertimbangkan keikutsertan dalam Copa Indonesia yang sudah mulai bergulir.

“Kami berupaya menyelesaikan pertandingan tersebut dengan dana yang ada ditambah pemasukan penjualan tiket dan sponsor,” lanjut Joko. “Bisa saja kami mundur dari ajang Copa Indonesia, karena kami memang kesulitan dana. Tetapi kami akan coba dulu jika memang memungkinkan akan tetap dilanjutkan.”

Selasa, 18 November 2008

BIANG KEROK BOBROKNYA PSS SLEMAN


PECAT BAMBANG NURJOKO SEKARANG JUGA!!!

Minggu, 16 November 2008

We were more than a team, we’re a nation (Booby Moore)

Uki Nugraha melambaikan tangannya pada istri dan anaknya di Bandara Hasanuddin, Makassar. Kaos merah yang ia pakai bertuliskan Indonesia, dan selempang syal yang juga bertuliskan Indonesia melilit di lehernya. Di stasiun Kota Baru, Malang, Yuli Sugiyanto alias Yuli Soemphil mengangkat tasnya yang dipenuhi oleh kaos-kaos pesanan dari Jakarta “Sebenarnya tidak semuanya pesanan, tapi inilah modal saya untuk bisa bertahan di Jakarta,” ujarnya. Bersama ratusan Aremania lainnya di dalam kereta, Yuli berulang kali menyanyikan “Ke Jakarta mendukung Indonesia, ke Jakarta demi Garuda,”.

Hari itu hanya satu hari menjelang partai awal Indonesia melawan Bahrain, pertunjukan pembuka Piala Asia 2007. Di saat yang bersamaan pula, Daru membenturkan kaleng birnya ke kaleng bir lainnya, bersama teman-temannya, ia berangkat ke Jakarta dari Sleman demi Indonesia. Hari itu, ribuan orang menuju Jakarta, semua menuju Gelora Bung Karno dan semua menjadi satu atas nama Indonesia!

“Hanya satu alasan untuk pergi mendukung tim sepakbola, karena kami orang Inggris,” tegas Antony Sutton, kolumnis ESPN yang kini menetap di Serpong. Lelaki yang pernah merasakan berbagai kekerasan di luar stadion ini berkisah panjang lebar tentang berbagai perjalanannya menembus Eropa demi St George Cross “Inggris adalah tanah air kami, sepakbola adalah bentuk nyata dari patriotisme modern,” ujarnya.

Banyak orang menganggap bahwa sepakbola hanyalah sekedar permainan “yang dimainkan oleh 22 lelaki bercelana pendek yang berlari-lari mengejar sebuah bola”. Bisa jadi ini benar, namun pada faktanya sepakbola memiliki makna yang jauh lebih besar dari itu. “Penyatu kelas,” ujar Alessandro Solar Luna, seorang filmmaker asal Mexico yang juga pencinta klub UNAM. “Meksiko adalah negeri dengan kesenjangan sosial yang sangat tinggi, antar kelas memiliki prasangkanya masing-masing pada kelas yang lain….tetapi sepakbola mampu menyatukan mereka,”

Solar tentu saja mencoba mengacu pada setiap dukungan yang ia lihat pada setiap laga timnya sendiri. Ia adalah representasi kelas menengah di Mexico City, ibukota negara. Seorang pekerja audio visual yang tentu saja memiliki kemampuan finansiial yang relatif jauh lebih baik daripada kebanyakan orang kota tersebut yang memang kurang lebih sama dengan Jakarta, kurang beruntung. “Selain di stadion, saya nyaris tidak pernah berbaur dengan mereka, sepakbola adalah penyatu kami,” kisahnya sembari lalu bercerita panjang lebar tentang Gael Garcia Bernal, si bintang ternama negeri sombrero yang juga rajin menonton UNAM dan tentu saja tidak jarang berpelukan dengan masyarakat berkelas ekonomi di bawahnya di saat timnya mencetak gol.

“Sepakbola membuat kami bangga,” tegas Davor Suker, top skorer Piala Dunia 1998. Seperti orang-orang Kroasia lainnya, Suker merasa sangat berterima kasih pada sepakbola “Olahraga inilah yang mengenalkan kami pada dunia,” ujarnya lagi. Terdengar berlebihan? Tapi coba kita tarik sedikit akar sejarah berdirinya negeri Kroasia. Perpecahan yang terjadi di kawasan Balkan menimbulkan perang saudara dan aneka konflik di kawasan itu. Salah satu negara yang kemudian lahir adalah Kroasia. Lalu, siapa yang kemudian mampu dengan cepat mengenali keberadaan negeri ini disamping daerah-daerah tetangganya? Bahkan kita di Indonesia saja saat itu sibuk memberi simpati kita pada Bosnia tetangga mereka.

Kroasia sama sekali tidak terdengar di belahan manapun di dunia ini, bahkan Solar pernah berkata pada saya “Kalau mereka tidak ada di Piala Dunia, mana mungkin saya tahu dimana mereka,” katanya terkekeh-kekeh. Menaklukkan Jerman, melaju ke semifinal dan memukul Belanda di perebutan juara ketiga seketika melontarkan Kroasia ke jajaran peta dunia. Jangan heran jika sepakbola kini menjadi olahraga nasional dan negara menjadikannya sebagai salah satu aset yang harus terus diperhatikan dengan baik.

Siapa kenal Pantai Gading atau Togo sebelum akhirnya mereka muncul di Piala Dunia 2006 Jerman? “Bahkan jalan raya saja kami tidak punya,” ujar Stephen yang saya temui di sudut sebuah jalanan Stuttgart saat timnya akan bertarung melawan Korea Selatan. “Nama Trinidad dan Tobago juga baru kali ini saya dengar,” ujar Patryk Ciechocinsky lelaki asal Polandia di kesempatan lain.

Sebegitu tinggikah nilai sepakbola? Saya dengan berani berkata iya! Tidak ada lagi permainan di muka bumi ini yang memiliki daya hipnotis sedahsyat sepakbola. Hanya di permainan inilah umat manusia tiba-tiba memiliki representasi hidupnya, sosialnya ataupun identitasnya. John Potter asal Portsmouth bisa-bisanya rela mentato punggungnya dengan tulisan “Pompey ‘till I die,” hanya untuk menggambarkan darimana ia berasal dan tim apa yang ia pilih.

“Jika lukisan yang terpajang di museum atau kesusastraan adalah bentuk budaya, maka sepakbola adalah juga sebuah budaya yang terpajang megah di stadion,” ujar Eduardo Galeano seorang sastrawan asal Uruguay. Bagi saya, budaya baru ini kini telah menjelma menjadi lambang patriotisme sesungguhnya. Ketika era modern sudah meninggalkan jauh prinspi-prinsip penaklukan dan invasi terhadap bangsa lain, sepakbola adalah medium bagi kita untuk menunjukkan siapa diri kita.

Dalam hidup, hanya stadion sepakbola tempat saya bernyanyi lagu Indonesia Raya dengan lantang. Tanyakan juga pada ribuan orang Indonesia lainnya (kecuali kaum militer tentunya), kapan terakhir mereka dengan sukarela menyebut-nyebut nama Indonesia dengan rasa bangga, memuja Burung Garuda setinggi langit hanya sepersekian detik setelah mereka menyanyikan lagu kebangsaan dengan linangan air mata di pipi. Gelegar nama Indonesia saat itu jauh melampau dari apa yang pernah dibayangkan kebanyakan orang Indonesia yang kebanyakan memang sudah skeptis pada bangsa ini. Saya bahkan percaya, hanya di saat itulah Presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono bisa menemukan pemandangan yang saya percaya juga menggetarkan dirinya .

Pada sepakbola kita menggantungkan harapan, di sana pula kita menyematkan diri kita untuk direpresentasikan, maka di sepakbola pula kita bisa memiliki rasa bangga pada negeri kita…..tak peduli sebobrok apapun negeri ini. Sore itu, tak lama setelah Indonesia takluk 0-1 dari Korea Selatan dan jalan kita ke perempat final sama sekali tertutup. Saya melihat Uki yang menangis meratapi negaranya, Yuli yang memandang nanar ke dalam lapangan atau Daru yang saya lihat terus terdiam di luar lapangan. Saya juga melihat ribuan orang lainnya yang sebangsa dengan saya yang masih terpukul pada kegagalan yang sebenarnya sudah diprediksi banyak orang

. Di rumah saya mengangkat putri saya yang saat itu belum berusia satu bulan dan berkata “Indonesia kalah nak, tapi suatu hari kita harus menang, kamu musti lihat apa yang terjadi di stadion tadi untuk tahu apa yang sudah digantungkan bangsa ini pada 11 orang di lapangan sana,” lalu saya melipat bendera Merah Putih yang seharian melingkar di badan dan membuka baju putih berlambang Garuda di dada.

Andibachtiar Yusuf

(Filmmaker & Football Reverend)

"Tulisan dibuat sebagai Kata Pengantar buku REPUBLIK GILA BOLA karya Ubaidillah Nugraha"

Di Titik Darah Penghabisan

“Sepakbola selalu menjadi rumit pada saat tim lawan muncul di lapangan yang sama,” ujar Friedrich Nietzsche, seorang filsuf penuh legenda dan kontroversi. Lelaki yang terkenal dengan pernyataan “Tuhan sudah mati,” ini adalah seorang pencinta sepakbola sejati dan bahkan sempat bermain di sebuah klub kecil di kota kelahirannya di negeri Jerman.

Fathul Mishuda berusia 27 tahun, tinggal di Jakarta dan tentu saja ia tidak mengenal Nietzsche bahkan bisa jadi tidak pernah tahu pemikiran-pemikiran sang filsuf. Namun, Fathul yang terakhir bekerja di kantor Walikota Jakarta Selatan ini saat ini tentu telah semakin memahami ucapan Nietzsche di awal tulisan ini.

Hari itu Rabu 6 Februari 2008, tak ada yang istimewa bagi kebanyakan orang, namun menjadi sangat penting bagi Fathul. Memutuskan untuk pulang lebih cepat dari tempatnya bekerja, tekadnya sangat jelas hari itu…menyaksikan tim kesayangannya berlaga di semifinal Liga Indonesia. Kaos hitam bertuliskan “Persija Sampai Mati” ia pakai sebagai asesoris terbaik di hari yang dinantikan oleh seluruh Jakmania atau pencinta Persija. Setelah terus berpuasa gelar, inilah hari kemenangan bagi timnya. Demikian kira-kira pikir Fathul.

Bergeraklah ia bersama seorang temannya menumpang bus kota yang akan melewati Jl Sudirman yang adalah akses utama menuju stadion kebanggaan warga Indonesia. Sore itu lagi-lagi tidak ada yang istimewa, bahkan oleh aparat keamanan sekalipun. Tak peduli 4 tim terbaik dengan basis massa yang sangat fanatik siap beradu di stadion berkapasitas nyaris 100 ribu ini, tak terlihat satupun keamanan bersiap di lingkar luar stadion. Padahal Jl Sudirman adalah bagian dari nadi utama ekonomi Indonesia dengan segala gedung bertingkat, mewah dan seharusnya dijaga itu.

Persipura adalah tim dengan sekumpulan talenta brilian, pemain-pemain asal ujung timur Indonesia dengan modal bakat alam yang luar biasa. Sementara PSMS asal Medan adalah salah satu tim penuh tradisi di tanah air, dengan bekal strategi yang tepat mampulah mereka meredam setiap serangan para mutiara hitam, memaksa pertandingan sampai ke babak adu penalty sekaligus kemudian memenangkan pertandingan. Layaknya saya yang sempat tak percaya Persipura gagal meluncur ke final, para pendukung mereka pun seolah terpana tak percaya. Layar televisi menayangkan ekspresi Boaz Solossa, Alberto Goncalves dan ribuan pendukung mereka yang tampak sangat kecewa pada hasil akhir pertandingan.

Tapi inilah sepakbola, seperti hidup yang kadang memang tidak adil. Penuh rasa kecewa, pendukung Persipura berhamburan pulang dan melupakan partai selanjutnya. Sementara itu di saat yang sama para Jakmania terus berdatangan bersiap mendukung tim ibukota menuju puncak tertinggi Liga Indonesia. Lalu kenanglah pertemuan mereka di final Liga 3 tahun lampau, saat Persipura memenangkan pertandingan dan Gelora Bung Karno menjadi saksi baku hantam hebat antara kedua belah pendukung yang merambat cepat sampai jauh keluar pagar kompleks Senayan. Kenang juga perkelahian yang nyaris terjadi beberapa minggu lalu saat Persija lagi-lagi takluk di tangan para mutiara hitam.

Nyatanya modal dua kenangan buruk ini sama sekali tidak membuat Gelora Bung Karno dipenuhi aparat keamanan yang benar-benar bertugas menjaga keamanan, lagi-lagi jumlah pengamanan yang minim menjadi alasan padahal pada sebuah partai derby Manchester City melawan Manchester United saja seluruh kota bagai dipenuhi oleh pasukan pengamanan baik yang berkuda, bermobil atau sekedar berjalan kaki.

Sepakbola adalah olahraga seluruh masyarakat Indonesia, tak heran jika para pencinta sepakbola adalah gambaran masyarakat Indonesia secara luas. Kekerasan yang kerap terjadi di setiap kegiatan Pilkada, perusakan rumah-rumah ibadah, demonstrasi yang berkembang menjadi penembakan atau tawuran antar mahasiswa atau golongan adalah gambaran betapa masyarakat Indonesia memang sangat dekat dengan kekerasan.

Modal pemahaman ini nyatanya tetap “tidak membuat jera” mereka yang selalu menyebut para pendukung sepakbola sebagai pengacau. Saya melihat bagaimana keributan dimulai di areal depan Hotel Atlet Century yang sama sekali tidak dihalangi oleh pihak keamanan—yang memang sangat minim—tak peduli sudah 4 bus kota yang ditumpangi para Jakmania rusak akibat aksi balas menyerbu yang dipertunjukkan oleh pendukung Persipura.

Di Jl Jendral Sudirman Fathul akhirnya meneteskan darahnya yang terakhir di sudut angkutan kota kelahirannya. Di dalam bus yang padahal melewati akses utama menuju stadion ini ia membuktikan kalimat yang tertulis di kaosnya. Fathul tewas, pencinta sepakbola Indonesia semakin terpidana dan sepakbola Indonesia makin merana. Sementara orang semakin lupa bahwa sepakbola jauh lebih rumit dari yang dikira dan semakin rumit lagi jika lawan muncul di tengah lapang.

Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Football Reverend

"dimuat di Topskor, pada suatu hari lewat"

"Football without supporters is life without sex,"

"Football without supporters is life without sex," ujar Jock Stein, legenda sepakbola asal Skotlandia yang memahami betul arti pendukung dan penonton bagi timnya. Apalah arti sepakbola tanpa gemuruh dan sorak sorai penontonnya, bahkan industri itu sendiripun akan mati, apalagi yang selalu saya atau Eduardo Galeano sebut sebagai 'budaya baru umat manusia'. Tiga hari sudah Liga Super Indonesia berjalan dan saya melihat dengan jelas betapa Badan Liga Indonesia tidak terlalu memahami apa yang pernah dicetuskan oleh Jock bertahun silam.

Saya memahami bahwa untuk menjadi sebuah liga yang matang, kompetisi harus dikuti oleh tim-tim bermodal kuat, bisa dipertanggungjawabkan dan jika merunut tradisi di Inggris....maka sebuah klub sepakbola harus memiliki stadionnya sendiri. Tapi itu di Inggris, fondasi industri sepakbola mereka jauh melampaui kebudayaan kita sendiri. Manajemen sepakbola dan kompetisi profesional sudah mereka mulai saat Bung Karno masih berteriak-teriak soal nasionalisme dan Tan Malaka sibuk beradu debat dengan Sutan Sjahrir.

Lupakan bentuk ideal stadion yang tepat bagi klub peserta liga, yang terpenting adalah klub bisa mandiri dan tidak menetek pada pemerintah. Bahkan Maradonna pun tidak akan pernah bisa besar tanpa pencinta sepakbola. Mengapa harus menyalahkan pendukung? Coba salahkan kesiapan perangkat pertandingan dan keamanan, karena sepakbola bukan sekedar permainan....sepakbola terlalu besar untuk hanya berdiri sendiri, terlalu banyak faktor yang membuat sepakbola jadi bernilai dan berharga atau sebaliknya ternista dan mati tanpa kemeriahan.

Rabu, 05 November 2008

POLISI TAI ANJING


All cops are bastards
Barbecue their dicks
Barbecue their dicks
All cops are bastards
Roast their penises
Yeah, yeah yeah yeah

apapun kulakukan demi sebuah harga diri