Minggu, 16 November 2008

Di Titik Darah Penghabisan

“Sepakbola selalu menjadi rumit pada saat tim lawan muncul di lapangan yang sama,” ujar Friedrich Nietzsche, seorang filsuf penuh legenda dan kontroversi. Lelaki yang terkenal dengan pernyataan “Tuhan sudah mati,” ini adalah seorang pencinta sepakbola sejati dan bahkan sempat bermain di sebuah klub kecil di kota kelahirannya di negeri Jerman.

Fathul Mishuda berusia 27 tahun, tinggal di Jakarta dan tentu saja ia tidak mengenal Nietzsche bahkan bisa jadi tidak pernah tahu pemikiran-pemikiran sang filsuf. Namun, Fathul yang terakhir bekerja di kantor Walikota Jakarta Selatan ini saat ini tentu telah semakin memahami ucapan Nietzsche di awal tulisan ini.

Hari itu Rabu 6 Februari 2008, tak ada yang istimewa bagi kebanyakan orang, namun menjadi sangat penting bagi Fathul. Memutuskan untuk pulang lebih cepat dari tempatnya bekerja, tekadnya sangat jelas hari itu…menyaksikan tim kesayangannya berlaga di semifinal Liga Indonesia. Kaos hitam bertuliskan “Persija Sampai Mati” ia pakai sebagai asesoris terbaik di hari yang dinantikan oleh seluruh Jakmania atau pencinta Persija. Setelah terus berpuasa gelar, inilah hari kemenangan bagi timnya. Demikian kira-kira pikir Fathul.

Bergeraklah ia bersama seorang temannya menumpang bus kota yang akan melewati Jl Sudirman yang adalah akses utama menuju stadion kebanggaan warga Indonesia. Sore itu lagi-lagi tidak ada yang istimewa, bahkan oleh aparat keamanan sekalipun. Tak peduli 4 tim terbaik dengan basis massa yang sangat fanatik siap beradu di stadion berkapasitas nyaris 100 ribu ini, tak terlihat satupun keamanan bersiap di lingkar luar stadion. Padahal Jl Sudirman adalah bagian dari nadi utama ekonomi Indonesia dengan segala gedung bertingkat, mewah dan seharusnya dijaga itu.

Persipura adalah tim dengan sekumpulan talenta brilian, pemain-pemain asal ujung timur Indonesia dengan modal bakat alam yang luar biasa. Sementara PSMS asal Medan adalah salah satu tim penuh tradisi di tanah air, dengan bekal strategi yang tepat mampulah mereka meredam setiap serangan para mutiara hitam, memaksa pertandingan sampai ke babak adu penalty sekaligus kemudian memenangkan pertandingan. Layaknya saya yang sempat tak percaya Persipura gagal meluncur ke final, para pendukung mereka pun seolah terpana tak percaya. Layar televisi menayangkan ekspresi Boaz Solossa, Alberto Goncalves dan ribuan pendukung mereka yang tampak sangat kecewa pada hasil akhir pertandingan.

Tapi inilah sepakbola, seperti hidup yang kadang memang tidak adil. Penuh rasa kecewa, pendukung Persipura berhamburan pulang dan melupakan partai selanjutnya. Sementara itu di saat yang sama para Jakmania terus berdatangan bersiap mendukung tim ibukota menuju puncak tertinggi Liga Indonesia. Lalu kenanglah pertemuan mereka di final Liga 3 tahun lampau, saat Persipura memenangkan pertandingan dan Gelora Bung Karno menjadi saksi baku hantam hebat antara kedua belah pendukung yang merambat cepat sampai jauh keluar pagar kompleks Senayan. Kenang juga perkelahian yang nyaris terjadi beberapa minggu lalu saat Persija lagi-lagi takluk di tangan para mutiara hitam.

Nyatanya modal dua kenangan buruk ini sama sekali tidak membuat Gelora Bung Karno dipenuhi aparat keamanan yang benar-benar bertugas menjaga keamanan, lagi-lagi jumlah pengamanan yang minim menjadi alasan padahal pada sebuah partai derby Manchester City melawan Manchester United saja seluruh kota bagai dipenuhi oleh pasukan pengamanan baik yang berkuda, bermobil atau sekedar berjalan kaki.

Sepakbola adalah olahraga seluruh masyarakat Indonesia, tak heran jika para pencinta sepakbola adalah gambaran masyarakat Indonesia secara luas. Kekerasan yang kerap terjadi di setiap kegiatan Pilkada, perusakan rumah-rumah ibadah, demonstrasi yang berkembang menjadi penembakan atau tawuran antar mahasiswa atau golongan adalah gambaran betapa masyarakat Indonesia memang sangat dekat dengan kekerasan.

Modal pemahaman ini nyatanya tetap “tidak membuat jera” mereka yang selalu menyebut para pendukung sepakbola sebagai pengacau. Saya melihat bagaimana keributan dimulai di areal depan Hotel Atlet Century yang sama sekali tidak dihalangi oleh pihak keamanan—yang memang sangat minim—tak peduli sudah 4 bus kota yang ditumpangi para Jakmania rusak akibat aksi balas menyerbu yang dipertunjukkan oleh pendukung Persipura.

Di Jl Jendral Sudirman Fathul akhirnya meneteskan darahnya yang terakhir di sudut angkutan kota kelahirannya. Di dalam bus yang padahal melewati akses utama menuju stadion ini ia membuktikan kalimat yang tertulis di kaosnya. Fathul tewas, pencinta sepakbola Indonesia semakin terpidana dan sepakbola Indonesia makin merana. Sementara orang semakin lupa bahwa sepakbola jauh lebih rumit dari yang dikira dan semakin rumit lagi jika lawan muncul di tengah lapang.

Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Football Reverend

"dimuat di Topskor, pada suatu hari lewat"

Tidak ada komentar: