Minggu, 16 November 2008

"Football without supporters is life without sex,"

"Football without supporters is life without sex," ujar Jock Stein, legenda sepakbola asal Skotlandia yang memahami betul arti pendukung dan penonton bagi timnya. Apalah arti sepakbola tanpa gemuruh dan sorak sorai penontonnya, bahkan industri itu sendiripun akan mati, apalagi yang selalu saya atau Eduardo Galeano sebut sebagai 'budaya baru umat manusia'. Tiga hari sudah Liga Super Indonesia berjalan dan saya melihat dengan jelas betapa Badan Liga Indonesia tidak terlalu memahami apa yang pernah dicetuskan oleh Jock bertahun silam.

Saya memahami bahwa untuk menjadi sebuah liga yang matang, kompetisi harus dikuti oleh tim-tim bermodal kuat, bisa dipertanggungjawabkan dan jika merunut tradisi di Inggris....maka sebuah klub sepakbola harus memiliki stadionnya sendiri. Tapi itu di Inggris, fondasi industri sepakbola mereka jauh melampaui kebudayaan kita sendiri. Manajemen sepakbola dan kompetisi profesional sudah mereka mulai saat Bung Karno masih berteriak-teriak soal nasionalisme dan Tan Malaka sibuk beradu debat dengan Sutan Sjahrir.

Lupakan bentuk ideal stadion yang tepat bagi klub peserta liga, yang terpenting adalah klub bisa mandiri dan tidak menetek pada pemerintah. Bahkan Maradonna pun tidak akan pernah bisa besar tanpa pencinta sepakbola. Mengapa harus menyalahkan pendukung? Coba salahkan kesiapan perangkat pertandingan dan keamanan, karena sepakbola bukan sekedar permainan....sepakbola terlalu besar untuk hanya berdiri sendiri, terlalu banyak faktor yang membuat sepakbola jadi bernilai dan berharga atau sebaliknya ternista dan mati tanpa kemeriahan.

Tidak ada komentar: