Minggu, 16 November 2008

We were more than a team, we’re a nation (Booby Moore)

Uki Nugraha melambaikan tangannya pada istri dan anaknya di Bandara Hasanuddin, Makassar. Kaos merah yang ia pakai bertuliskan Indonesia, dan selempang syal yang juga bertuliskan Indonesia melilit di lehernya. Di stasiun Kota Baru, Malang, Yuli Sugiyanto alias Yuli Soemphil mengangkat tasnya yang dipenuhi oleh kaos-kaos pesanan dari Jakarta “Sebenarnya tidak semuanya pesanan, tapi inilah modal saya untuk bisa bertahan di Jakarta,” ujarnya. Bersama ratusan Aremania lainnya di dalam kereta, Yuli berulang kali menyanyikan “Ke Jakarta mendukung Indonesia, ke Jakarta demi Garuda,”.

Hari itu hanya satu hari menjelang partai awal Indonesia melawan Bahrain, pertunjukan pembuka Piala Asia 2007. Di saat yang bersamaan pula, Daru membenturkan kaleng birnya ke kaleng bir lainnya, bersama teman-temannya, ia berangkat ke Jakarta dari Sleman demi Indonesia. Hari itu, ribuan orang menuju Jakarta, semua menuju Gelora Bung Karno dan semua menjadi satu atas nama Indonesia!

“Hanya satu alasan untuk pergi mendukung tim sepakbola, karena kami orang Inggris,” tegas Antony Sutton, kolumnis ESPN yang kini menetap di Serpong. Lelaki yang pernah merasakan berbagai kekerasan di luar stadion ini berkisah panjang lebar tentang berbagai perjalanannya menembus Eropa demi St George Cross “Inggris adalah tanah air kami, sepakbola adalah bentuk nyata dari patriotisme modern,” ujarnya.

Banyak orang menganggap bahwa sepakbola hanyalah sekedar permainan “yang dimainkan oleh 22 lelaki bercelana pendek yang berlari-lari mengejar sebuah bola”. Bisa jadi ini benar, namun pada faktanya sepakbola memiliki makna yang jauh lebih besar dari itu. “Penyatu kelas,” ujar Alessandro Solar Luna, seorang filmmaker asal Mexico yang juga pencinta klub UNAM. “Meksiko adalah negeri dengan kesenjangan sosial yang sangat tinggi, antar kelas memiliki prasangkanya masing-masing pada kelas yang lain….tetapi sepakbola mampu menyatukan mereka,”

Solar tentu saja mencoba mengacu pada setiap dukungan yang ia lihat pada setiap laga timnya sendiri. Ia adalah representasi kelas menengah di Mexico City, ibukota negara. Seorang pekerja audio visual yang tentu saja memiliki kemampuan finansiial yang relatif jauh lebih baik daripada kebanyakan orang kota tersebut yang memang kurang lebih sama dengan Jakarta, kurang beruntung. “Selain di stadion, saya nyaris tidak pernah berbaur dengan mereka, sepakbola adalah penyatu kami,” kisahnya sembari lalu bercerita panjang lebar tentang Gael Garcia Bernal, si bintang ternama negeri sombrero yang juga rajin menonton UNAM dan tentu saja tidak jarang berpelukan dengan masyarakat berkelas ekonomi di bawahnya di saat timnya mencetak gol.

“Sepakbola membuat kami bangga,” tegas Davor Suker, top skorer Piala Dunia 1998. Seperti orang-orang Kroasia lainnya, Suker merasa sangat berterima kasih pada sepakbola “Olahraga inilah yang mengenalkan kami pada dunia,” ujarnya lagi. Terdengar berlebihan? Tapi coba kita tarik sedikit akar sejarah berdirinya negeri Kroasia. Perpecahan yang terjadi di kawasan Balkan menimbulkan perang saudara dan aneka konflik di kawasan itu. Salah satu negara yang kemudian lahir adalah Kroasia. Lalu, siapa yang kemudian mampu dengan cepat mengenali keberadaan negeri ini disamping daerah-daerah tetangganya? Bahkan kita di Indonesia saja saat itu sibuk memberi simpati kita pada Bosnia tetangga mereka.

Kroasia sama sekali tidak terdengar di belahan manapun di dunia ini, bahkan Solar pernah berkata pada saya “Kalau mereka tidak ada di Piala Dunia, mana mungkin saya tahu dimana mereka,” katanya terkekeh-kekeh. Menaklukkan Jerman, melaju ke semifinal dan memukul Belanda di perebutan juara ketiga seketika melontarkan Kroasia ke jajaran peta dunia. Jangan heran jika sepakbola kini menjadi olahraga nasional dan negara menjadikannya sebagai salah satu aset yang harus terus diperhatikan dengan baik.

Siapa kenal Pantai Gading atau Togo sebelum akhirnya mereka muncul di Piala Dunia 2006 Jerman? “Bahkan jalan raya saja kami tidak punya,” ujar Stephen yang saya temui di sudut sebuah jalanan Stuttgart saat timnya akan bertarung melawan Korea Selatan. “Nama Trinidad dan Tobago juga baru kali ini saya dengar,” ujar Patryk Ciechocinsky lelaki asal Polandia di kesempatan lain.

Sebegitu tinggikah nilai sepakbola? Saya dengan berani berkata iya! Tidak ada lagi permainan di muka bumi ini yang memiliki daya hipnotis sedahsyat sepakbola. Hanya di permainan inilah umat manusia tiba-tiba memiliki representasi hidupnya, sosialnya ataupun identitasnya. John Potter asal Portsmouth bisa-bisanya rela mentato punggungnya dengan tulisan “Pompey ‘till I die,” hanya untuk menggambarkan darimana ia berasal dan tim apa yang ia pilih.

“Jika lukisan yang terpajang di museum atau kesusastraan adalah bentuk budaya, maka sepakbola adalah juga sebuah budaya yang terpajang megah di stadion,” ujar Eduardo Galeano seorang sastrawan asal Uruguay. Bagi saya, budaya baru ini kini telah menjelma menjadi lambang patriotisme sesungguhnya. Ketika era modern sudah meninggalkan jauh prinspi-prinsip penaklukan dan invasi terhadap bangsa lain, sepakbola adalah medium bagi kita untuk menunjukkan siapa diri kita.

Dalam hidup, hanya stadion sepakbola tempat saya bernyanyi lagu Indonesia Raya dengan lantang. Tanyakan juga pada ribuan orang Indonesia lainnya (kecuali kaum militer tentunya), kapan terakhir mereka dengan sukarela menyebut-nyebut nama Indonesia dengan rasa bangga, memuja Burung Garuda setinggi langit hanya sepersekian detik setelah mereka menyanyikan lagu kebangsaan dengan linangan air mata di pipi. Gelegar nama Indonesia saat itu jauh melampau dari apa yang pernah dibayangkan kebanyakan orang Indonesia yang kebanyakan memang sudah skeptis pada bangsa ini. Saya bahkan percaya, hanya di saat itulah Presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono bisa menemukan pemandangan yang saya percaya juga menggetarkan dirinya .

Pada sepakbola kita menggantungkan harapan, di sana pula kita menyematkan diri kita untuk direpresentasikan, maka di sepakbola pula kita bisa memiliki rasa bangga pada negeri kita…..tak peduli sebobrok apapun negeri ini. Sore itu, tak lama setelah Indonesia takluk 0-1 dari Korea Selatan dan jalan kita ke perempat final sama sekali tertutup. Saya melihat Uki yang menangis meratapi negaranya, Yuli yang memandang nanar ke dalam lapangan atau Daru yang saya lihat terus terdiam di luar lapangan. Saya juga melihat ribuan orang lainnya yang sebangsa dengan saya yang masih terpukul pada kegagalan yang sebenarnya sudah diprediksi banyak orang

. Di rumah saya mengangkat putri saya yang saat itu belum berusia satu bulan dan berkata “Indonesia kalah nak, tapi suatu hari kita harus menang, kamu musti lihat apa yang terjadi di stadion tadi untuk tahu apa yang sudah digantungkan bangsa ini pada 11 orang di lapangan sana,” lalu saya melipat bendera Merah Putih yang seharian melingkar di badan dan membuka baju putih berlambang Garuda di dada.

Andibachtiar Yusuf

(Filmmaker & Football Reverend)

"Tulisan dibuat sebagai Kata Pengantar buku REPUBLIK GILA BOLA karya Ubaidillah Nugraha"

Tidak ada komentar: